 P
Pentingnya Pendekatan KONTEKSTUAL Dalam Pembelajaran
A. Latar Belakang Filosofis dan Psikologis
Penerapan pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning)
 di Amerika Serikat bermula dari pandangam ahli pendidikan klasik John 
Dewey yang pada tahun 1916 mengajukan teori kurikulum dan metodologi 
pengajaran yang berhubungan dengan pengalaman dan minat siswa. Filosofi 
pembelajaran kontekstual berakar dari paham progressivisme John 
Dewey. Intinya, siswa akan belajar dengan baik apabila apa yang mereka 
pelajari berhubungan dengan apa yang telah mereka ketahui, serta proses 
belajar akan produktif jika siswa terlibat dalam proses belajar di 
sekolah. Pokok-pokok pandangan progressivisme antara lain:
- Siswa belajar dengan baik apabila mereka secara aktif dapat mengkonstruksi sendiri pemahaman mereka tentang apa yang diajarkan oleh guru.
- Siswa harus bebas agar dapat berkembang wajar.
- Penumbuhan minat melalui pengalaman langsung untuk merangsang belajar.
- Guru sebagai pembimbing dan peneliti.
- Harus ada kerja sama antara sekolah dan masyarakat.
- Sekolah progresif harus merupakan laboratorium untuk melakukan eksperimen.
Selain teori progressivisme John 
Dewey, teori kognitif melatarbelakangi pula filosofi pembelajaran 
kontekstual. Siswa akan belajar dengan baik apabila mereka terlibat 
secara aktif dalam segala kegiatan di kelas dan berkesempatan untuk 
menemukan sendiri. siswa menunjukkan belajar dalam bentuk apa yang 
mereka ketahui dan apa yang dapat mereka lakukan. Belajar dipendang 
sebagai usaha atau kegiatan intelektual untuk membangkit ide-ide yang 
masih laten melalui kegiatan introspeksi.
Sejauh ini pendidikan kita masih di 
dominasi oleh pandangan bahawa pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta
 yang harus dihafal. Kelas masih berfokus pada guru sebagai sumber utama
 pengetahuan, kemudian ceramah sebagai pilihan utama strategi belajar. 
Untuk itu, diperlukan sebuah strategi belajar baru yang lebih 
memberdayakan siswa. Sebuah strategi belajar yang tidak mengharuskan 
siswa menghapal fakta-fakta, tetapi sebuah strategi yang mendorong siswa
 mengkontruksi pengetahuan di benak mereka sendiri.
Berpijak pada dua pandangan itu, 
filosofi konstruksivisme berkembang. Dasarnya pengetahuan dan 
keterampilan siswa diperoleh dari konteks yang terbatas dan sedikit demi
 sedikit. Siswa yang harus mengkontruksikan sendiri pengetahuannya.
Melalui landasan filosofi 
konstruksivisme, CTL dipromosikan menjadi alternatif strategi belajar 
yang baru. Melalui strategi, siswa diharapkan belajar melalui mengalami 
bukan menghafal.
Menurut filosofi konstruktivisme, 
pengetahuan bersifat non-objektif, temporer, dan selalu berubah. Segala 
sesuatu bersifat temporer, berubah dan tidak menentu. Belajar adalah 
pemaknaan pengetahuan, bukan perolehan pengetahuan dan mengajar 
diartikan sebagain kegiatan atau menggali makna, bukan memindahkan 
pengetahuan kepada orang yang belajar. Otak  atau akal manusia berfungsi
 sebagai alat untuk melakukan interpretasi sehingga muncul makna yang 
unik.
Dengan paham kontruksivisme, siswa 
diharapkan dapat membangun pemahaman sendiri dari pengalaman/pengetahuan
 terdahulu. Pemahaman yang mendalam dikembangkan melalui 
pengalaman-pengalam belajar bermakna. Siswa diharapkan memapu 
mempraktikkan pengetahuan/pengalaman yang telah diperoleh dalam konteks 
kehidupan. Siswa diharapkan juga melakukan refleksi terhadap strategi 
pengembangan pengetahuan tersebut. Dengan demikian, siswa dapat memiliki
 pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan yang dipelajari. Pemahaman 
ini diperoleh siswa karena ia dihadapkan kepada lingkungan belajar yang 
bebas yang merupakan unsur yang sangat esensial.
Hakikat teori kontruksivisme adalah 
bahwa siswa harus menjadikan informasi itu menjadi miliknya sendiri. 
teori kontruksivisme memandang siswa secara terus menerus memeriksa 
informasi-informasi baru yang berlawanan dengan aturan-aturan lama dn 
memperbaiki aturan-aturan yang tidak sesuai  lagi. Teori konstruksivis 
menuntut siswa berperan aktif dalam pembelajaran mereka sendiri. Karena 
penekanannya pada siswa aktif, maka strategi kontruksivis sering disebut pengajaran yang berpusat pada siswa (student-centered instruction).
 Di dalam kelas yang pengajarannya terpusat kepada siswa, peranan guru 
adalah membantu siswa menemukan fakta, konsep, atau prinsip bagi diri 
mereka sendiri, bukan memberikan ceramah atau mengendalikan seluruh 
kegiatan di kelas.
Beberapa proposisi yang dapat 
dikemukakan sebagai implikasi dari teori kontruktivistik dalam praktek 
pembeljaran di sekolah-sekolah kita sekarang adalah sebagai berikut:
1.   Belajar adalah proses pemaknaan informasi baru
2.   Kebebasan merupakan unsur esensial dalam lingkungan belajar.
3.   Strategi belajar yang digunakan menentukan proses dan hasil belajar.
4.   Belajar pada hakikatnya memiliki aspeksosial dan budaya.
5.   Kerja kelompok dianggap sangat berharga.
Dalam pandangan kontruksivistik, 
kebebasan dipandangan sebagai penentu keberhasilan karena kontrol 
belajar dipegang oleh siswa sendiri. Tujuan
 pembelajaran konstruktivistik menekankan pada penciptaan pemahaman yang
 menuntut aktivitas yang kreatif dan produktif dalam konteks nyata. Dengan demikian, paham konstruktivistik menolak pandangan behavioristik.
B.       Pengertian Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL)
 merupakan suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan 
memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang 
dipelajarinya dengan mengkaitkan materi tersebut dengan konteks 
kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial, dan kultural) 
sehingga siswa memiliki pengetahuan/keterampilan yang secara fleksibel 
da-pat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan /konteks ke 
permasalahan/ konteks lainnya.
CTL merupakan suatu konsep belajar 
dimana guru menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam kelas dan 
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya 
dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan 
masyarakat. Dengan konsep ini, hasil pembelajaran diharapkan lebih 
bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung lebih alamiah dalam
 bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan
 dari guru ke siswa.
Pembelajaran kontekstual dengan pendekatan konstruktivisme
 dipandang sebagai salah satu strategi yang memenuhi prinsip-prinsip 
pembelajaran berbasis kompetensi. Dengan lima strategi pembelajaran 
kontekstual (contextual teaching and learning), yaitu relating, experiencing, applying, cooperating, dan transferrini diharapkan peserta didik mampu mencapai kompetensi secara maksimal.
Dalam kelas kontekstual, tugas guru 
adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Guru lebih banyak berurusan 
dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas 
sebagai sebuah tim yang bekerja ber-sama untuk menemukan sesuatu yang 
baru bagi anggota kelas (siswa). Sesu-atu yang baru datang dari 
menemukan sendiri bukan dari apa kata guru. Begitulah peran guru di 
kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual.
Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning)
 adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang 
diajarkan-nya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa 
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya
 dalam kehidu-pan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelaaran efektif, yakni: konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiri), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), dan penilaian sebenarnya (authentic assessment).
 C.      Langkah-langkah CTL
CTL dapat diterapkan dalam kurikulum apa 
saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya. 
 Pendekatan CTL dalam kelas cukup mudah. Secara garis besar, 
langkah-langkah yang harus ditempuh dalam CTL adalah sebagai berikut:
- Kembangkan pemikiran bahwa siswa akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya.
- Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik.
- Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya.
- Ciptakan masyarakat belajar.
- Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran.
- Lakukan refleksi di akhir pertemuan.
- Lakukan penilaian yang sebenarnya (authentic assessment) dengan berbagai cara.
   D. Karakteristik Pembelajaran CTL
- 
- Kerjasama.
- Saling menunjang.
- Menyenangkan, tidak membosankan.
- Belajar dengan bergairah.
- Pembelajaran terintegrasi.
- Menggunakan berbagai sumber.
- Siswa aktif.
- Sharing dengan teman.
- Siswa kritis guru kreatif.
 
10.Dinding dan lorong-lorong penuh dengan hasil kerja siswa, peta-peta, gambar, artikel, humor dan lain-lain.
11.Laporan kepada orang tua bukan hanya rapor tetapi hasil karya siswa, laporan hasil pratikum, karangan siswa dan lain-lain
Dalam pembelajaran kontekstual, 
program pembelajaran lebih merupakan rencana kegiatan kelas yang 
dirancang guru, yang berisi skenario tahap demi tahap tentang apa yang 
akan dilakukan bersama siswanya sehubungan dengan topik yang akan 
dipelajarinya. Dalam program tercermin tujuan pembelajaran, media untuk 
mencapai tujuan tersebut, materi pembelajaran, lang-kah-langkah 
pembelajaran, dan authentic assessment-nya.
Dalam konteks itu, program yang 
dirancang guru benar-benar rencana pribadi tentang apa yang akan 
dikerjakannya bersama siswanya. Secara umum tidak ada perbedaan mendasar
 format antara program pembelajaran konvensional dengan program 
pembelajaran kontekstual. Program pembelajaran konvensional lebih 
menekankan pada deskripsi tujuan yang akan dicapai (je-las dan 
operasional), sedangkan program untuk pembelajaran kontekstual le-bih 
menekankan pada skenario pembelajarannya.
Beberapa komponen utama dalam pembelajaran Kontekstual menurut Johnson (2000: 65), yang dapat di uraikan sebagai berikut:
1.  Melakukan hubungan yang bermakna (making meaningful connections)
Keterkaitan yang mengarah pada makna 
adalah jantung dari pembelajaran dan pengajaran kontekstual. Ketika 
siswa dapat mengkaitkan isi dari mata pelajaran akademik, ilmu 
pengetahuan alam. Atau sejarah dengan pengalamannya mereka sendiri, 
mereka menemukan makna, dan makna memberi mereka alasan untuk belajar. 
Mengkaitkan pembelajaran dengan kehidupan seseorang membuat proses 
belajar menjadi hidup dan keterkaitan inilah inti dari CTL.
2.  Melakukan kegiatan-kegiatan yang berarti (doing significant works)
 Model pembelajaran ini menekankan bahwa 
semua proses pembelajaran yang dilakukan di dalam kelas harus punya arti
 bagi siswa sehingga mereka dapat mengkaitkan materi pelajaran dengan 
kehidupan sisw
3.   Belajar yang diatur sendiri (self-regulated Learning)
Pembelajaran yang diatur sendiri, 
merupakan pembelajaran yang aktif, mandiri, melibatkan kegiatan 
menghubungkan masalah ilmu dengan kehidupan sehari-hari dengan cara-cara
 yang berarti bagi siswa. Pembelajaran yang diatur siswa sendiri, 
memberi kebebasan kepada siswa menggunakan gaya belajarnya sendiri.
4.    Bekerjasama (collaborating)
Siswa dapat bekerja sama. Guru membantu 
siswa bekerja secara efektif dalam kelompok, membantu siswa bekerja 
secara efektif dalam kelompok, membantu mereka memahami bagaimana mereka
 saling mempengaruhi dan saling berkomunikasi.
5.    Berpikir kritis dan kreatif (critical dan creative thinking)
Pembelajaran kontekstual membantu siswa 
mengembangkan kemampuan berpikir tahap tinggi, nerpikir kritis dan 
berpikir kreatif. Berpikir kritis adalah suatu kecakapan nalar secara 
teratur, kecakapan sistematis dalam menilai, memecahkan masalah menarik 
keputusan, memberi keyakinan, menganalisis asumsi dan pencarian ilmiah. 
Berpikir kreatif adalah suatu kegiatan mental untuk meningkatkan 
kemurnian, ketajaman pemahaman dalam mengembangkan sesuatu.
6.    Mengasuh atau memelihara pribadi siswa (nuturing the individual)
Dalam pembelajaran kontekstual siswa 
bukan hanya mengembangkan kemampuan-kemampuan intelektual dan 
keterampilan, tetapi juga aspek-aspek kepribadian: integritas pribadi, 
sikap, minat, tanggung jawab, disiplin, motif berprestasi, dsb. Guru 
dalam pembelajaran kontekstual juga berperan sebagai konselor, dan 
mentor. Tugas dan kegiatan yang akan dilakukan siswa harus sesuai dengan
 minat, kebutuhan dan kemampuannya.
7.    Mencapai standar yang tinggi (reaching high standards)
Pembelajaran kontekstual diarahkan agar siswa berkembang secara optimal, mencapai keunggulan (excellent). Tiap siswa bisa mencapai keunggulan, asalkan sia dibantu oleh gurunya dalam menemukan potensi dan kekuatannya.
8.    Menggunakan Penilaian yang otentik (using authentic assessment)
Penilaian autentik menantang para siswa 
untuk menerapkan informasi dan keterampilan akademik baru dalam situasi 
nyata untuk tujuan tertentu. Penilaian autentik merupakan antitesis dari
 ujian stanar, penilaian autentik memberi kesempatan kepada siswa untuk 
menunjukkan kemampuan terbaik mereka sambil mempertunjukkan apa yang 
sudah mereka pelajari.
- E. Strategi Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual menempatkan 
siswa di dalam konteks bermakna yang menghubungkan pengetahuan awal 
siswa dengan materi yang sedang dipelajari (Nurhadi, Yasin dan Senduk, 
2004: 56). Strategi yang berasosiasi dengan pembelajaran kontekstual adalah sebagai berikut.
1.    Belajar berbasis Masalah (Problem-Based Learning)
Suatu pendekatan pengajaran yang 
menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk 
belajar tentang berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, 
serta untuk memperoleh pegetahuan dan konsep yang esensi dari materi 
pelajaran. Dalam pengetahuan dan konsep yang esensi dari mata pelajaran.
 Dalam hal ini siswa terlibat dalam penyelidikan untuk pemecahan masalah
 yang mengintegrasikan keterampilan dan konsep dari berbagai isi materi 
pelajaran. Pendekatan ini mencakup pengumpulan informasi yang berkaitan 
dengan pertanyaan, mensintesis, dan mempresentasikan penemuannya kepada 
orang lain.
2.   Pembelajaran Autentik (Authentic Instruction)
Suatu pendekatan pengajaran yang 
memperkenankan siswa untuk mempelajari konteks bermakna. Ia 
mengembangkan keterampilan berpikir dan memecahkan masalah yang penting 
di dalam konteks kehidupan nyata.
3.   Belajar Berbasis Inquiry (Inquiry-Based Learning)
 Suatu pendekatan pembelajaran yang mengikuti metodologi sains dan menyediakan kesempatan untuk pembelajaran bermakna.
4.   Belajar berbasis Proyek/Tugas (Project-Based Learning)
Suatu pendekatan pembelajaran 
komprehensif di mana lingkungan belajar siswa (kelas) didesain agar 
siswa dapat melakukan penyelidikan terhadap masalah autentik termasuk 
pendalaman materi dari suatu topik mata pelajaran, dan melaksanakan 
tugas bermakna lainnya. Pendekatan ini memperkenankan siswa untuk 
bekerja secara mandiri dalam mengkonstruk pembelajarannya, dan 
mengkulminasikan dengan produk nyata.
5.   Belajar Berbasis Kerja (Work-Based Learning)
Suatu pendekatan pembelajaran yang 
memungkinkan siswa menggunakan konteks tempat kerja untuk mempelajari 
materi pelajaran berbasis sekolah dan bagaimana materi tersebut 
dipergunakan kembali di tempat kerja. Jadi dalam hal ini, tempat kerja 
atau sejenisnya dan berbagai aktifitas dipadukan dengan materi  
pelajaran untuk kepentingan siswa.
6.   Belajar Berbasis Jasa-Layanan (Service Learning)
Suatu pendekatan pembelajaran yang 
mengkombinasikan jasa layanan masyarakat dengan suatu struktu berbasis 
sekolah untuk merefleksikan jasa-layanan tersebut, jadi menekankan 
hubungan antara pengalaman jasa-layanan dan pembelajaran akademis. 
Dengan kata lain, pendekatan ini menyajikan suatu penerapan praktis dari
 pengetahuan baru yang diperlukan dan berbagi keterampilan untuk 
memenuhi kebutuhan dalam masyarkat melalui proyek/tugas terstruktur dan 
kegiatan lainnya.
7.   Belajar Kooperatif (Cooperatif Learning)
Pendekatan pembelajaran yang menggunakan 
kelompok kecil siswa untuk bekerjasama dalam memaksimalkan kondisi 
belajar dalam mencapai tujuan.
 F.        Perbedaan Pembelajaran Kontekstual Dengan Pembelajaran Tradisional
Terlihat jelas perbedaan proses 
pembelajaran kontekstual  yang berpijak pada pandangan kontrukstivisme 
dengan pembelajaran tradisional yang berpijak padangan 
behaviorisme-objektivis. Menurut Sanjaya (2006 : 256) ada beberapa 
perbedaan yang dapat diuraikan sebagai berikut:
- Dalam pembelajaran kontekstual, siswa secara aktif terlibat dalam proses pembelajaran, sedangkan dalam pembelajaran tradisional siswa adalah penerima informasi yang pasif.
- Dalam pembelajaran kontekstual, siswa belajar dari teman melalui kerja kelompok, diskusi, saling mengoreksi, sedangkan dalam pembelajaran tradisional siswa belajar secara individual.
- Dalam pembelajaran kontekstual, pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata dan atau masalah yang disimulasikan, sedangkan dalam pemebelajaran tradisional pembelajaran sangat abstrak.
- Dalam pembelajaran kontekstual, perilaku dibangun atas kesadaran sendiri sedangkan dalam pembelajaran tradisional perilaku dibangun atas kebiasaan.
- Dalam pembelajaran kontekstual, keterampilan dibangun atas kesadaran diri,, sedangkan dalam pembelajaran tradisional ketrampilan dikembangkan atas dasar latihan.
- Dalam pembelajaran kontekstual, hadiah untuk perilaku baik adalah kepuasan diri, sedangkan dalam pembelajaran tradisional hadiah untuk perilaku baik adalah pujian atau nilai (angka) rapor.
- Dalam pembelajaran kontekstual, seseorang tidak melakukan yang jelek karena dia sadar hal itu keliru dan merugikan., sedangkan dalam pembelajaran tradisional seseorang tidak melakukan yang jelek karena dia takut hukuman.
- Dalam pembelajaran kontekstual, bahasa diajarkan dengan pendekatan komunikatif, yakni siswa diajak menggunakan bahasa dalam konteks nyata, sedangkan dalam pembelajaran tradisional, bahasa diajarkan dengan pendekatan struktural: rumus diterapkan sampai paham, kemudian dilatihkan (drill).
- Dalam pembelajaran kontekstual, pemahaman rumus dikembangkan atas dasar skemata yang sudah ada dalam diri siswa, sedangkan dalam pembelajaran tradisional rumus itu ada di luar diri siswa, yang harus dikembangkan, diterima dan dilafalkan, dan dilatihkan.
- Dalam pembelajaran kontekstual, siswa menggunakan kemampuan berpikir kritis, terlibat penuh dalam pengupayakan terjadinya proses pembelajaran yang efektif, ikut bertanggungjawab atas terjadinya proses pembelajaran yang efektif, dan membawa skemata masing-masing ke dalam proses pembelajaran sedangkan dalam pembelajaran tradisional siswa secara pasif menrima rumus atau kaidah (membaca, mendengarkan, mencatat, menghapal), tampa memberikan kontribusi ide dalam proses pembelajaran.
- Dalam pembelajaran kontekstual, pengetahuan yang dimiliki oleh manusia dikembangkan oleh manusia itu sendiri. Manusia menciptakan atau membangun pengetahuan dengan cara memberi arti dan memahami pengalamannya sedangkan dalam pembelajaran tradisional pengetahuan adalah penangkapan terhadap serangkaian fakta, konsep, atau hukum yang brada di luar diri manusia.
 G.      Evaluasi Otentik Sebagai Ciri Penilaian Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual menuntur 
evaluasi yang bersifat komprehensif, menyeluruh dan terus menerus, 
karena dilakukan oleh guru kontekstual sepanjang proses pembelajaran. 
Setiap saat terjadi perubahan dan perkembangan pada para siswa. 
Perubahan dan perkembangan bidang atau aspek tertentu mungkin sangat 
banyak/tinggi, tetapi pada bidang atau aspek lainnya sedikit, sedikit 
sekali atau bahkan hampir tidak ada. Perubahan atau perkembangan 
tersebut mungkin berkenaan dengan aspek yang menjadi tujuan atau 
terumuskan dalam tujuan pembelajaran.
Evaluasi dilakukan pada waktu para siswa 
merencanakan sesuatu kegiatan, melaksanakan maupun melaporkan hasil 
kegiatannya. Evaluasi juga dilakukan pada waktu siswa berdiskusi, 
mengerjakan tugas, mengerjakan tugas, melakukan latihan, percobaan, 
pengamatan, penelitian, pemecahan masalah, dan penyelesaian soal. 
Bagaimana siswa melakukan berbagai kegiatan tersebut serta hasil-hasil 
yang mereka tunjukkan, baik berupa rancangan, makalah, laporan, 
rangkuman, gambar, model, ataupun hasil pemecahan dan jawaban soal, 
merupakan wujud dari perkembangan dan kemampuan hasil belajar mereka.
Evaluasi terhadap proses pembelajaran
 dan hasil karya merupakan evaluasi otentik, evaluasi kenyataan, karena 
mengevaluasi apa yang secara nyata dilakukan dan dihasilkan oleh para 
siswa. Hal ini tidak berarti, bahwa evaluasi dengan menggunakan tes 
tidak bisa digunakan, karena evaluasi dengan menggunakan tes, mengukur 
hasil pembelajaran pada akhir periode, akhir semester, tengah semester 
atau akhir unit. Makin pendek periode waktu pembelajaran yang 
dievaluasi, maka makin mendekati evaluasi otentik.
Dalam evaluasi hasil pembelajaran, 
biasanya hanya digunakan tes, berbentuk tes obyektif atau essay, maka 
dalam evaluasi proses juga digunakan evaluasi perbuatan (pengamatan), 
lisan, hasil karya dan portfolio. Portfolio merupakan kumpulan dokumen 
yang disusun secara sistematik dan terarah yang menggambarkan 
perkembangan atau kemajuan siswa dalam bidang tertentu.
 H.      Penerapan Pembelajaran Kontekstual di Kelas
Ada tujuh komponen utama pembelajaran yang mendasari penerapan pembelajaran kontekstual dikelas. Ketujuh komponen itu adalah konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling) refleksi (reflection), dan penilaian sebenarnya (authentic assessment)
1.  Konstruktivisme (Constructivism)
Konstruktivisme merupakan landasan 
berpikir pendekatan kontekstual, yaitu pengetahuan dibangun sedikit demi
 sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang 
terbatas dan tidak dengan tiba-tiba. Pengetahuan bukanlah seperangkat 
fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. 
Tetapi siswa harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna 
melalaui pengalaman nyata. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan 
masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut 
dengan ide-ide, yaitu siswa harus mengkontruksikan pengetahuan dibenak 
mereka sendiri.
Esensi dari teori kontruksivisme adalah 
ide bahwa siswa haarus menemukan dan mentransfomasikan suatu informasi 
kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki informasi itu menjadi 
milik mereka sendiri. Dengan dasar ini pembelajaran harus dikemas 
menjadi proses mengkontruksi bukan mnerima pengetahuan. Landasan 
berpikir konstruktivisme agak berbeda dengan kaum objektif, yang lebih 
menekaankan pada hasil pembelajaran. Dalam pandangan konstruktivisme, 
strategi memperoleh lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa 
memperoleh dan mengingat diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa 
memperoleh dan mengingat pengetahuan. Untuk itu tugas guru adalah 
memfasilitasi proses tersebut dengan : (1) menjadikan pengetahuan 
bermakana dan relevan bagi siswa; (2) memberi kesempatan siswa menemukan
 dan menerapkan idenya sendiri; dan (3) menyadarkan siswa agar 
menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.
2. Bertanya (questioning)
Pengetahuan yang dimiliki seseorang, 
selalu bermula dari bertanya karena bertanya merupakan strategi utama 
pembelajaran yang produkstif, kegiatan bertanya berguna untuk: (1) 
menggaliinformasi baik administrasi maupun akademia; (2) mengecek 
pemahaman siswa; (3) membangkitkan respon pada siswa; (4) mengetahui 
sejauh mana keingin tahuan siswa; (5) mengetahui hal-hal yang sudah 
diketahui siswa; (6) memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang 
dikehendaki gur; (7)  untuk membangkitkan lebihbanyak lagi pertanyaan 
dari siswa; (8) untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa. Pada semua 
aktivitas belajar, questioning dapat diterapkan antara siswa 
dengan siswa, antara guru dan siswa, antara siswa dengan guru, antara 
siswa dengan orang lain yang didatangkan ke kelas dan sebagainya.
3.  Menemukan (inquiry)
Menemukan merupakan bagian inti dari 
kegiatan pembelajaran menggunakan pendekatan kontekstual. Pengetahuan 
dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hanya hasil 
mengingat seperangkat fakta-fakta tetapi juga hasil dari menemukan 
sendiri. Siklus inquiry adalah (1) observasi, (2) bertanya, (3) 
mengajukan dugaan, (4) pengumpulan data, (5) penyimpulan. Kata kunci 
dari strategi inquiry adalah siswa menemukan sendiri, adapun 
langkah-langkah kegiatan menemukan sendiri adalah: (1) merumuskan 
masalah dalam mata pelajaran apapun; (2) mengamati atau melakukan 
observasi; (3) menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, 
gambar,laporan, bagan tabel, dan karya lainnya; dan (4) 
mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman kelas,
 guru, atau audience lainnya.
4. Masyarakat Belajar (learning community)
 Konsep learning community 
menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerja sama dengan 
orang lain. Hasil belajar didapat dari berbagi anatara kawan, kelompok, 
dan antara yang tahu ke yang belum tahu. Di ruang kelas ini, di sekitar 
sini, juga dengan orang-orang yang diluar sana semua adalah anggota 
masyarakat belajar. Dalam kelas yang menggunakan pendekatan kontekstual,
 guru disarankan dalam melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok
 belajar. Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang anggotanya 
heterogen. Yang pandai mengajari yang lemah, yang tahu memberiyahu yang 
belum tahu, yang cepat menangkap mendorong temannya yang lambat, yang 
mempunyai gagasan segera memberikan usul dan seterusnya. Kelompok siswa 
bisa sanagt bervariasi bentuknya, baik keanggotaan, jumlah, bahkan bisa 
melibatkan siswa di dalam kelas atasnya, atau guru mengadakan kolaborasi
 dengan mendatangkan seorang ahli ke kelas.
5. Permodelan (modelling)
Dalam sebuah pembelajaran keterampilan 
atau pengetahuan tertentu, ada model yang bisa ditiru. Model itu, 
memberi peluang yang besar bagi guru untuk memberi contoh cara 
mngerjakan sesuatu, dengan begitu guru memberi model tentang bagaimana 
belajar. Dalam pendekatan kontekstual guru bukan satu-satunya model. 
Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa, seorang siswa dapat 
ditunjuk untuk memberikan contoh temannya, misalnya cara melafalkan 
suatu kata. Siswa contoh tersebur dikatakan sebagai model, siswa lain 
dapat menggunakan model tersebut sebagai standar kompetensi yang harus 
dicapai.
6.   Refleksi (reflection)
Refleksi adalah cara berfikir tentang apa
 yang baru dipelajari atau berpikir kebelakng tentang apa-apa yang sudah
 kita lakukan dalam hal belajar di masa lalu. Siswa mengendapkan apa 
yang dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru, yang 
merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelummnya. Refleksi 
merupakan respons terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang 
baru diterima.
7.  Penilaian Sebenarnya (authentic assessment)
Assessment adalah proses pengumpulan 
berbagai data yang bisa memberikan gambaran belajar siswa. Gambaran 
perkembangan belajar siswa perlu diketahui olehb guru agar bisa 
memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran yang benar. Apabila
 data yang dikumpulkan guru mengidentifikasikan bahwa siswa mengalami  
kemacetan dalam belajar, maka guru segera bisa mengambil tindakan  yang 
tepat agar siswa  agar siswa terbebas dari kemacetan belajar. Karena 
gambaran tentang kemajuanbelajar itu diperlukan disepanjang proses 
pembelajaran, maka penilaian tidak dilakukan diakhir periode seperti 
akhir semester. Kemajuan belajar dinilai dari proses, bukan melalui 
hasil, dan dengan berbagai cara. Tes hanyalah salah satunya, itulah 
hakekat penilaian yang sebarnya. Penilai tidak hanya guru, tetapi bisa 
juga teman lain atau orang lain. Karakteristik penilain sebenarnya 
adalah (1) dilaksanakan selama dan sesuadah proses pembelajaran 
berlangsung; (2) bisa digunakan untuk formatif maupun sumatif; (3) yang 
diukur keterampilan dan performasi, bukan hanya mengingat fakta; (4) 
berkesinambungan; (5) terintegrasi; (6) dapat dipergunakan sebagaifeed 
back. Dengan demikian pembelajaran yang benar memang seharusnya 
ditekankan pada upaya membantu siswa agar mampu mempelajari (learning how to learn) sesuatu, bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi diakhir periode pembelajaran.
Sumber : Pembelajaran Berbasis 
Paikem(Ctl, Pembelajaran Terpadu, Pembelajaran Tematik) Materi Pelatihan
 Penguatan Penguatan Pengawas Sekolah Direktorat Tenaga Kependidikan 
Direktorat Jenderalpeningkatan Mutu Pendidik Dan Tenaga 
Kependidikankementerian Pendidikan Nasional 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar