KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Tuhan yang maha
kuasa
yang telah memberikan
segala nikmat-Nya kepada kita baik itu nikmat kesehatan dan kesempatan sehingga
dapat menyusun sebuah buku.
Shalawat dan salam senantiasa tercurah
kepada baginda Muhammad S.a.w dan semoga keselamatan juga bagi keluarga,
sahabat serta kepada orang-orang yang mengikuti beliau sampai akhir kelak.
Amiin…
Adapun buku ini disusun sesederhana dan
semudah mungkin karena ditujukan bagi
maha siswa dan siap saja yang baru akan berkecimpung dalam bidang linguistik
khususnya fonologi. Setiap topik dijadikan satu bab yang dibicarakan secara ringkas.
Kami mohom maaf dengan segala kekurangan
yang ada dalam penulisan buku ini.
Ucapa terimakasih disampaikan kepada Bapak
Dosen yang telah memberikan kesempatan
untuk bisa meringkas sebuah buku.
Semoga buku ini memberi
manfaat bukan saja kepada pemakai buku ini, tetapi juga bermanfaat dalam upaya
kita membina dan mengembangkan bahasa nasiaonal kita, bahasa indonesia.
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar………
Bab 1
Pendahuluan……………………………….
Bab 2
Fonologi, linguistik dan disiplin……
Bagian
Pertama : fonetik
Bab
3
Jenis-jenis fonetik
Bab 4
Transkripsi Fonetik
Bab 5 Alat ucap
Bab 6 Jenis
Bahasa
Bab
7 Bunyi
Diftong
Bab 8 Bunyi
Konsonan
Bagian
kedua :
Fonemik
Bab 9 Fonem
dan Alofon
Bab 10 Distribusi fonem Bahasa Indonesia
Bab 11 Perubahan Bunyi
BAB I
Secara etimologi kata fonologi berasal dari gabungan kata fon yang
berarti ‘bunyi’, dan logi yang berarti ‘ilmu’. Sebagai sebuah ilmu, fonologi
lazim diartikan sebagai bagian dari kajian lainguistik yang mempelajari,
membahas membicarakan dan menganalisis bunyi-bunyi bahasa yang diproduksi oleh
alat ucap manusia.
Bila kita mendengar suara orang berbicara entah berpidatoatau
bercakap-cakap, maka akan kita dengar rututan bunyi-bunyi bahasa yang
terus-menerus, kadang-kadang suara menaik dan menurun, kadang-kadang terdengar
dan hentian sejenak dan hentian agak lama, kadang-kadang terdengar pula suara
panjang dan suara biasa, dan sebagainya.
Runtutan bunyi bahasa ini dapat dianalisis atau disegmentasikan
berdasarka tingkat-tingkat kesatuannya. Umpamanya, runtutan bunyi dalam bahasa
indonesia. Digunakan transkripsi ortografis, bukan transkripsi fonetis.
BAB II
Fonologi adalah bunyi-bunyi bahasa sebagai satuan terkecil dari ujaran
beserta dengan “gabungan” antar bunyi yang membentuk silabel atau suku kata.
Serta juga dengan unsur-unsur suprasegmentalnya, seperti tekanan, nada, hentian
dan durasi.
Satu singkat diatas satuan silabel ialah satuan morfem yang menjadi
objek kajian linguistik morfologi. Bedanya silabel dengan morfemadalah kalau
silabel tidak memiliki mkna, maka morfem mempunyai makna. Secara kuantitatif
sebuah morfem, bisa sama atau lebih besar daripada sebuah silabel.
Morfologi yang lazim diartikan sebagai kajian mengenai proses-proses
pembentukan kata dalam kajiannya juga masih memerlukan bantuan kajian fonologi.
Misalnya morfofonemik akan dibicarakan adanya perubahan bunyi, penambahan bunyi
dan sebagainya sebagai akibat dari adanya proses pertemuan morfem dengan
morfem.
Dalam beberapa bahasa tertentu unsur suprasegmental-yang juga menjadi objek kajian fonologi- seperti
nada, tekanan, dan durasi akan memberi “warna” makna pula terhadap wujud sebuah
morfem atau kata. Jadi, kajian fonologi masih terlibat dalam kajian morfologi.
Diatas satuan morfem ada satuan ujar yang disebut kata, frase klausa,
dan (ujarannya dalam bentuk wacana) kalimat, yang menjadi objek kajian
linguistik bidang sintaksis. Dalam kajian sintaksis ini fonologi juga masih
terlibat karena sering kali makna sebuah ujaran /kalimat tergantung pada
unsur-unsur suprasegmentalnya.
Begitu juga, sebuah ujaran (kalimat) yang sama akan berbeda modus dan
maknanya apabila diberi intonasi final yang berbeda. Kalau diberi intonasi
deklaratif kalimat itu menjadi sebuah kalimat deklaratif, kalau diberi intonasi
interogatif kalimat itu akan berubah menjadi kalimat introgatif, dan kalau
diberi intonasi interjektif akan menjadi sebuah kalimat interjektif.
Diluar kajian struktur internal bahasa, yaitu fonologi, morfologi dan
sintaksis, ada kajian bidang linguistik yang lain, yaitu semantik,
leksikografi, sosiolinguistik, psikolinguistik dan dialektologi. Kajian
semantik yang meliputi semua tataran bahasa juga banyak melibatkan kajian
fonologi.
Hasil kajin fonologi juga diperlukan dalam bidang klinis yaitu dalam
membantu mereka yang mendapat hambatan dalam berbicara maupun mendengar, Yang
sangat diperlukan disini adalah hasil kajian fonetiknya. Diluar kajian
linguistikmasih banyak bidang kegiatan lain yang memerlukan bantuan fonologi.
Misalnya, seni suara, seni musik, seni sastra dan seni berbicara.
BAB III
JENIS-JENIS FONETIK
Sudah dikemukakan sebelumnya bahwa fonetik adalah cabang kajian
linguistik yang meneliti bunyi-bunyi bahasa tanpa melihat apakah bunyi-bunyi
itu dapat membedakan makna kata atau tidak. Hal ini berbeda dengan fonemik yang
menelitu bunyi-bunyi bahasa dengan
melihat bunyi itu sebagai satuan yang dapat membedakan makna kata.
Ada 3 macam fonetik, yaitu
fonetik artikulatoris, fonetik akustis dan fonetik auditoris. Bunyi itu berada dalam proses produksi didalam
mulut penutur, disebut fonetik artikulatoris/organis.
Bunyi bahasa berada atau sedang merambat di udara menuju telinga pendengar,
disebut fonetik akustis. Bunyi bahasa
itu sampai atau berada di telinga pendengar, disebut fonetik diautoris.
Fonetik artikulatoris disebut juga fonetik organis atau fonetik
fisiologis meneliti bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu diproduksi oleh alat-alat
ucap manusia. Pembahasannya, antara lain meliputi masalah alat-alat ucap yang
digunakan dalam memproduksi bunyi bahasa; bagaimana bunyi bahasa it dibuat;
mengenai silabel; dan juga mengenai ciri-ciri suprasegmental.
Fonrtik akustik, yang objeknya adalah bunyi bahasa yang merambat di
udara, antara lain membicarakan:
gelombang bunyi beserta frekuensi dan kecepatannya ketika merambat di udara,
spektrum tekanan dan intensitas bunyi.
Fonetik auditori meneliti bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu “diterima”
oleh telinga, sehingga bunyi-bunyi itu
didengar dan dapat dipahami. Dalam hal ini tentunya pembahasan mengenai
struktur dan fungsi alat pendengar, yang disebut telinga itu bekerja. Bagaimana
mekanisme penerimaan bunyi bahasa itu, sehingga bisa dipahami.
Dari ketiga jenis fonetik itu jelas, yang paling berkaitan dengan ilmu
linguistik adalah fonetik artikulatoris, karena fonetik ini sangat berkaitan
dengan masalah bagaimana bunyi bahasa itu diproduksi atau dihasilkan. Sedangkan
fonetik akustis lebih berkenaan denga ilmu fisika. Sedangkan linguisik
auditoris berkaitan dengan ilmu kedokteran.
BAB IV
TRANSKRIPSI FONETIK
Yang dimaksud dengan transkripsi foetik adalah penulisan bunyi-bunyi
bahasa secara akurat atau secara tepat dengan menggunakan huruf atau tulisan
fonetik. Huruf fonetik ini dibuat berdasarkan huruf(alfabet) latin yang
dimodifikasikan atau diberi tanda-tanda
kritik.
Kita lihat pada dasarnya dalam kajian fonetik, satu huruf hanya
digunakan untuk satu bunyi; atau satu bunyi dilambangkan dengan satu huruf.
Tidak ada penggunaan satu huruf untuk dua bunyi yang berbeda; juga tidak ada
penggunaan dua huruf yang berbeda untuk satu bunyi.
Berbagai buku fonologi atau fonetik, dan berbagai kamus inggris kita
lihat berbagai macam tulisan fonetik. Setiap pakar memang dapat membuatnya
sendiri, untuk keperluan yang biasanya disesuaikan dengan keadaan fonetik
bahasa yang dikajinya.
BAB V
ALAT UCAP
Sebenarnya alat-alat yang digunakanuntuk menghasilkan bunyi-bunyi bahasa
ini mempunyai fungsi utama lain yang
bersifai fisiologis. Misalnya, paru-paru untuk bernafas, lidah untuk mencecap
dan gigi untuk mengunyah. Namun alat-alat itusecara linguistik digunakan untuk
menghasilkan bunyi-bunyi bahasa sewaktu berujar.
Kita perlu mengenal alat-alat ucap itu satu persatu untuk bisa memahami
bagaimana bunyi bahasa itu diproduksi. Nama-nama bunyu bahasa itupun diambil
dari nama-nama alat ucapitu yang diambil dari bahsa latin. Untuk mengenal
alat-alat ucap iatu lihat bagan berikut, dan perhatikan nomor-nomor serta
keterangannya.
1. Paru-paru
(lung)
2. Batang
tenggorokan(trachea)
3. Pangkal
tenggorokan (laring)
4. Pita
suara (vocal cord) yang didalamnya terdapat glottis, yaitu celah diantara dua
bilahpita suara.
5. Krikoid
(cricoid)
6. Lekum
atau tiroid
7. Aritenoid
8. Dinding
rongga kerongkongsn
9. Epiglotis
10. Akar
lidah
11. Pangkal
lidah atau sering disatukan dengan daun lidah. Pakal lidah.
12. Tengah
lidah daun lidah
13. Telinga
lidah
14. Ujung
lidah
15. Anak
tekak
16. Langit-langit
lunak
17. Langit-langit
keras
18. Gusi,
ceruk gigi
19. Gigi
atas
20. Gigi
bawah
21. Bibir
atas
22. Bibir
bawah
23. Mulut
24. Rongga
mulut
25. Rongga
hidung.
BAB VI
JENIS-JENIS BUNYI
BAHASA
Berdasarkan kriteria tertentudapat
dibedakan sebagai berikut:
1. Bunyi
Vokal. Konsonan dan Semi Vokal
Bunyi-bunyi
vokal, konsonan dan semi vokal dibedakan berdasarkan tempat dan cara
artikulasinya. Vokal adalah bunyi bahasa yang dihasilkan deangan cara, setelah
arus udara keluar dari glotis (celah pintu suara) lalu arus ujar hanya
“diganggu” atau diubah oleh posisi lidah dan bentuk mulut.
2. Bunyi
Oral dan Bunyi Nasal
Kedua
bunyi ini bedakan berdasarkan keluarnya arus ujar, bila arus ujar keluar
melalaui rongga mulut maka disebut bunyi oral. Bila keluar melalui rongga
hidung disebut bunyi nasal.
3. Bunyi
Bersuara dan Bunyi tak Bersuara
Kedua
bunyi ni dibedakan berdasarkan ada
tidaknya getaranpada pita suara sewaktu bunyi itu diproduksi. Bila pita suara
turut bergetar pada proses pembunyian itu, maka disebut bunyi bersuara.
4. Bunyi
keras dan Bunyi Lunak
Pembedaan kedua bunyi ini berdasarkan ada tidaknya
ketegangan kekuatan arus udara ketika bunyi itu diartikulasikan. Sebuah bunyi
disebut keras apabila terjadi pernafasan yang kuat dan otot tegang.
5. Bunyi
panjang dan Bunyi Pndek
Pembedaan
bunyi ini didasarkan pada lama dan tidaknya bunyi itu diartikulasikan. Baik
bunyi vokal maupun bunyi konsonan dapat dibagi atas bunyi panjang dan bunyi
pendek. Kasus ini tidak ada dalam kamus bahsa indonesia, tetapi ada dalam
bahasa latin, dan bahasa arab.
6. Bunyi
Nyaring dan Tak Nyaring
Pembedaan
bunyi ini berdasarkan derajat kenyaringan bunyi-bunyi itu yang ditentukan oleh
besar kecilnya ruang resonasi pada waktu bunyi itu diujarkan. Bunyi vokal pada
umumnya mempunyai sonoritas yang lebih tinggi daripada bunyi konsonan.
BAB VII
BUNYI DIFTONG
Konsep diftong berkaitan dengan
dua buah vokal dan yang merupakan satu bunyi dalam satu silabel. Namun, posisi
lidah ketika mengucapkan bergeser ke atas atau ke bawah. Karena itu, dikenal
adanya tiga macam diftong, yaitu diftong naik, diftong turun, dan diftong
memusat.
1. Diftong
naik, terjadi jika vokal kedua diucapkan
dengan posisi lidah menjadi lebih tinggi daripada yang pertama.
Contoh:
[ai]
<gulai>
[au] <pulau>
[oi] <sekoi>
2. Diftong
turun, yakni yang terjadi bila vokal kedua diucapkan dengan posisi lidah lebih
rendah daripada yang pertama. Dalam bahasa Jawa ada diftong turun.
Contoh:
[ua]
pada kata <muarem> ‘sangat puas’
<uanteng> ‘sangat tenang’
[uo]
pada kata <luoro> ‘sangat sakit’
<duowo> ‘sangat panjang’
[ue]
pada kata <uelek> ‘sangat jelek’
<uenteng> ‘sangat ringan’
3. Diftong
memusat, yaituyang terjadi bila vokal kedua diacu oleh sebuah atau lebih vokal
yang lebih tinggi, dan juga diacu oleh sebuah atau lebih vokal yang lebih
rendah. Dalam bahasa inggris ada diftong [oa] seperti pada kata, <more>,
dibaca [moa].
Catatan tentang
diftong:
Dalam literatur lain, tentang diftong naik turun,
bukan dilihat dari posisi lidah melainkan dari sonoritasnya lebih tinggi maka
disebut dftong naik; tetapi kalau lebih rendah disebut diftong turun.
1.1 Diftong
tidak sama dengan deret vokal. Diftong merupakan satu kesatuan, sedang deret
vokal merupakan dua kesatuan.
1.2 Para
tata bahasawan tradisional yang mendasarkan analisisnya pada ragam bahasa tulis
menggunakan istilah vokal rangkap karena yang dilihatnya adalah gabungan dua
huruf vokal.
1.3 Dalam
linguistik moderen diftong diklasifikasikan sebagai sebuah bunyi atau fonem.
1.4 Ada
pakar yang mengatakan diftong itu tidak ada. Yang ada adalah gabungan dari
sebyuah vokal dan sebuah konsonan.
BAB VIII
BUNYI KONSONAN
Konsonan adalah bunyi bahasa yang diproduksi dengan cara, setelah arus
ujar keluar dari glotis, lalu mendapat hambatan pada alat-alat ucap tertentu
didalam rongga mulut atau rongga hidung. Bunyikonsonan dapat diklasifikasikan
berdasarkan (1) tempat artikulasi, (2)
cara artikulasi, (3) bergetar tidaknya suara, dan (4) striktur.
1.Tempat artikulasi, yaitu tempat terjadinya
bunyi konsonan atau tempat bertemunya artikulator aktif dan artikulator pasif.
Tempat artikulasi disebut jua titik artikulasi. Sebagai contoh bunyi [p]
terjadi pada kedua belah bibir (bibir atas dan bibir bawah) sehingga tempat
artikulasinya disebut bilabial.
2. Cara artikulasi, yaitu bagaimana tindakan
atau perlakuan terhadap arus udara yang baru keluar dari glotis dalam menghasilkan
bunyi konsonan itu
3. Bergetar tidaknya pita suara, yaitu jika
pita suara dalam proses pembunyian itu turut bergetar atau tidak. Bila pita
suara itu turut bergetar maka disebut bunyi bersuara. Jika pita suara tidak
turut beergetar, maka bunyi itu disebut bunyi tak bersuara.
4. Striktur, yaitu hubungan posisi antara
artikulator aktif dan artikulator pasif. Umpamanya dalam memproduksi bunyi [p]
hubungan artikulator aktif dan artikulator pasif, mula-mula rapat lalu secara
tiba-tiba dilepas.
Nama-nama
Bunyi konsonan
Dengan kriteria tempat artikulasi, cara
artikulasi dan bergetar tidaknya pita suara, dapatlah kita memberi nama pada
bunyi-bum\nyi konsonan itu.Dengan melihat tempat artikulasi, cara artikulasi
dan bergetar tidaknya pita suara maka nama-nama bunyi konsonan itu dapat
disebutkan sebagai berikut
[b]
bunyi bilabial, hambat , bersuara
[p]
bunyi bilabial, hambat tak bersuara
[m]
bunyi bilabial, nasal
[w]
bunyi bilabial, semi vokal
[v]
bunyi labiodental, geseran, bersuara
[f]
bunyi labiodental, geseran, tak bersuara
[d]
bunyi apikoalveolar, hambatan, bersuara
Dan
lain-lain
BAB IX
FONEM DAN ALOFON
Fonem
Fonetik adalah bunyi bahasa atau fon; sedangkan objek kajian fonemik
adalah fonem. Lalu persoalan kita adalah perbedaan antara fon dan fonem, sebab
kedua-duanya sama-sama bunyi bahasa. Adapun fonem merupakan abstraksi dari satu
atau sejumlah fon, entah vokal maupun konsonan.
Memang banyak versi mengenai definisi atau konsep fonem namun, intinya
adalah satu kesatuan bunyi terkecil yang dapat membedakan makna kata. Kalau
kita ingin mengetahui sebuah bunyi adalah fonem atau bukan, kita harus mencari yang
disebut pasangan minimal atau minimal pair, yaitu dua buah bentuk yang bunyinya
mirip dan hanya sedikit berbeda.
Alofon
Bunyi vokal depan tinggi ada dua, yaitu vokal depan tinggi atas [i] dan
vokal depan tiggi bawah [I]. Begitu juga vokal belakang tinggi ada dua, yaitu
vokal belakang tinggi atas [u] dan vokal belakang tinggi bawah [U]. Demikian
juga vokal belakang sedang ada dua, yaitu vokal belakang sedang atas dan vokal
belakang sedang bawah.
Analog dengan kasus vokal [i] dan vokal [I], maka dapat dikatakan vokal
[u] dan vokal [U] juga merupakan anggota dari satu fonem yang sama, yaitu fonem
/u/, yaang juga berdistribusi secara komplementer. Vokal [u] untuk silabel
terbuka (tak berkoda), dan vokal [U] untuk silabel tertutup (berkoda).
Alofon adalah anggota dari
sebuah fonem atau varian dari sebuah fonem. Fonem merupakan konsep abstrak
karena kehadirannya dalam ujaran diwakili oleh alofon yang sifatnya konkret, dapat diamati
(didengar) secara empiris.
Persoalan kita sekarang, apakah setiap fonem memiliki lebih dari sebuah
alofon ? Jawabannya karena dalam realisasinya fonem itu tidak dilafalkan
bersendiri melainkan berdampingan dengan fonem lain dan karena fonem yang
satu dengan yang lain saling
mempengaruhi, maka fonem-fonem tersebut akan mempunyai sejumlah alofon.
BAB X
DISTRIBUSI FONEM BAHASA
INDONESIA
Yang dimaksud dengan distribusi fonem adalah letak atau beradanya sebuah
fonem didalam satu satuan ujaran, yang kita sebut sebuah kata atau morfem.
Secara umum fonem dapat berada pada posisi awal kata, ditengah kata, maupun
diakhir kata.
Fonem vokal memang selalu dapat
menduduki posisi pada semua tempat, berkenaan dengan posisinya sebagai puncak
penyaringan pada setiap silabel.
Sedangkan fonem konsonan tidak selalu demikian:
mungkin dapat menduduki awal dan
akhir, tetapi mungkin juga hanya menduduki posisi pada awal.
Fonem Vokal
1. Vokal
/a/, dapat menduduki semua posisi seperti pada tampak contoh: ambil, taat dan
harga.
2. Vokal
/i/, dapat menduduki semua posisi seperti tanpak pada contoh: indah, amin dan
tani.
3. Vokal
/e/, dapat menduduki semua posisi seperti tampak pada contoh: enak,karet dan
sate.
4. Vokal
/u/ dapat menduduki semua posisi seperti
tampak pada contoh: udan, sambut dan lagu.
5. Vokal /o/ dapat menduduki semua posisi, seperti pada contoh: oleh, belok dan bakso.
Fonem Diftong
1. Diftong
/aw/ dapat menduduki posisi awal dan posisi akhir, contoh: aula [awla] dan
pulau [ pulaw]. Tidak dapat menduduki posisi
tengah.
2. Diftong
/ay/ hanya menduduki posisi akhir, seperti pda [pantay]. Tidak dapat
menduduki posisi awal dan posisi tengah.
3. Diftong
/oy/ hanya menduduki posisi akhir, seperti tampak [sakoy] dan [amboy]. Tidak
menduduki posisi awal dan tengah.
Fonem Konsonan
1. Konsonan
/b/ dapat mendudukui posisi awal, posisi tengah dan posisi akhir seperti tampak pada bambu, timbul dan sebab.
Namun, pada posisi akhir sebagai koda posisinya mendua, maksudnya sebagai fonem
/b/, dan dapat pula sebagai fonem/p/.
2. Konsonan
/p/ dapat menduduki semua posisi: awal,tengah dan akhir, seperti tampak pada
contoh; pikat,lipat dan tutup.
3. Konsonan
/m/ dapat meduduki semua posisi: awal, tengah dan akhir, seperti tampak pada
contoh: makan,aman dan dalam.
4. Konsonan
/d/ dapat menduduki semua posisi: awal, tengah dan akhir, seperti tampak pada
contoh: dari, adat dan abad. Nmun, pada posisi akhir fonem /d/ lazim dilafalkan sebagai bunyi [t]. Jadi,
fonem /d/ disini adalah anggota dari
arkifonem /D/.
5. Konsonan
/t/ dapat menduduki semua posisi: awal, posisi tengah dan posisi akhir, seperti
tampak pasda contoh: taeri, hati dan karet.
Gugus konsonan
1. Gugus
konsonan /br/ dapat menduduki posisi
awal dan posisi akhir, seperti pada kata brahmana dan labrak.
2. Gugus
konsonan /bl/ dapat menduduki posisi
awal dan posisi tengah, seperti pada
kata blangko dan amblas.
3. Gugus
konsonan /by/ hanya menduduki posisi tengah, seperti pada kata obyek dan sbyek.
4. Gugus
konsonan /dr/ dapat menduduki posisi awal dan posisi tengah, seperti pada kata
drama dan sudra.
5. Gugus
konsonan /dw/ dapat menduduki posisi awal saja, seperti pada kata dwidarma.
Dari pembicaraan
diatas, mengenai distribusi fonem-fonem bahasa indonesia dapat ditarik
kesimpulan, bahwa:
1. Semua
fonem fokal dapat berdistribusi pada semua posisi (awal,tengah dan akhir)
kecuali vokal /a/ yang hanya berposisi pada awal dan tengah; tetapi tidak dapat
berposisi pada akhir.
2. Fonen
diftong atau gugus vokal pada umumnya hany menduduki posisi akhir, kecuali
diftong /aw/ yang dapat menduduki posisi
awal dan akhir.
3. Semua
fonem konsonan dapat menduduki posisi awal, tengah dan akhir; kecuali fonem
/w/, /n/, /j/, /c/, dan /g/ yang tidak dapat menduduki posisi akhir; dan fonem
letup /?/ yang tidak dapat menduduki posisi awal.
BAB XI
PERUBAHAN BUNYI
Di dalam praktik bertutur fonem atau bunyi bahasa itu tidak berdiri
sendiri-sendiri, melainkan saling berkaitan didalam suatu runtutan bunyi.
Secara fonetis maupun fonemis, akibat dari saling berkaitan dan pengaruh
mempengaruhi bunyi-bunyi itu bisa saja berubah. Kalau perubahan itu tidak
menyebabkan identitas fonemnya berubah maka perubahan itu hanya bersifat
fonetis.
Tetapi kalau perubahan itu sampai menyebabkan identitas fonemnya berubah
maka perubahan itu bersifat fonemis. Penyebab perubahan itu bisa diperinci
menjadi (1) akibat adanya koartikulasi;
(2) akibat pengaruh bunyi yang mendahului atau yang membelakangi; (3)
akibat distribusi; (4) akibat lainnya.
1. Akibat
adanya Koartikulasi
Koartikulasi disebut juga artikulasi
sertaan, atau artikulasi kedua, adalah proses artikualsi lain yang menyertai
terjadinya artikulasi utama, artikulasi primer atau artikulasi pertama.
Koartikulasi ini terjadi karena sewaktu artikulasi primer untuk memproduksi
bunyi pertama berlangsung.
Alat-alat ucap sudah mengambil
ancang-ancang untuk membuat atau memproduksi bunyi berikutnya. Akibatnya, bunyi
pertama yang dihasilkan agak berubah mengikuti ciri-ciri bunyi kedua yang akan
dihasilkan.
Dalam peristiwa ini dikenak\l adanya
proses-proses labialisasi, retrofleksi, glotalisasi, dan lain-lain.
1.1 Retrofleksi
Labialisasi adalah proses pelabialan atau
pembulatan bibir ketika artikulasi primer berlangsung. Contoh [t], tetapi pada
kata <tujuan>.
1.2 Retrofleksi
Retrofleksi adalah proses penarikan ujung
lidah melengkung kearah palatum sewaktu artikulasi primer berlangsung sehingga
terdengar bunyi [r]
1.3 Glotalisai
Glotalisai adalah proses penyertaan bunyi
hambat pada glotis (glotis tertutup) sewatu artikulasi primer berlangsung.
Bunyi [a] dan bunyi [o] pada kata <akan> dan obat.
2. Akibat
pengaruh bunyi lingkungan (bunyi yang berada sebelum atau sesudah bunyi utama )
akan terjadi dua peristiwa perubahan yang disebut asimilasi dan disimilasi.
2.1 Asimilasi
Asimilasi adalah perubahan bunyi secara
fonetis akibat pengaruh yang berada sebelum atau sesudahnya. Kalau pengaruh itu
kedepan disebut asimilasi progresip. Kalau arah pengaruh itu ke belakang
disebut asimilasi regresif.
2.2 Disimilasi
Disimilasi adalah dua buah bunyi yang sama
diubah menjadi dua buah bunyi yang berbeda atau tidak sama.
3. Akibat
Distribusi
Yang dimaksud dengan distribusi adalah
letak atau tempat suatu bunyi dalam satu satuan ujaran.
4. Akibat
Proses Morfologi
Perubahan bunyi akibat adanya proses
morfologi lazim disebut dengan istilah morfofonemik atau morfofonologi.
sip.
BalasHapusterimakasih banyak